Aku harus menarik nafas panjang sebelum menulis ini Ray, berat sekali sedang mataku
sudah mulai berkaca-kaca. Apa sebenarnya yang akan ku tulis? Apa saja yang
menurutku ingin ku tulis karna ku tau kau suka membaca tulisanku bahkan jika
itu sebatas bualan semata.
Di penghujung
tahun ini aku tak tau apa saja yang telah terlewati, kadang ku merasa hampa,
kosong dan gamang bahkan sehelaan nafas selanjutnya adalah aku merasa telah
melakukan banyak hal, mendapatkan sejumlah kenangan manis dan berhasil melalui
beberapa rintangan.
Tahun
ini ku mulai dengan hati yang terluka, iya kau benar, ini karena aku
mengijinkan orang lain melukainya. Aku bahkan tak berani menengok ke belakang
hanya sekedar untuk memaafkan diriku sendiripun aku sulit. Tahun ini aku mulai
dengan pipi yang berjejak garis air mata, banyak yang hilang di awal tahunku. Pilu.
Mungkin
kau ingat betapa rapuhnya aku memulai tahun ini, menangis di mana saja, di
perpus, di jalan, toko buku, warung soto, angkot, pesawat, stasiun, bandara,
terminal dimana saja Rey. Aku menangis kapan saja, pagi hari, siang, senja,
bahkan air matalah yang menghantar tidurku. Aku menangis kepada siapa saja,
pada potret diriku, pada teman-tean dekatku, padamu juga kan Ray. Mungkin kaupun
bosan sudah mendegarkanku yang lemah ini.
Hari-hari
ku lewati menyedihkan, aku mencoba mengumpulkan puing-puing kekuatan yang ada
pada diriku perlahan, terseok aku menapaki jalan temaramku sendirian. Sampai akhirnya
waktu membantuku menyadari, air mataku tak akan membuatnya kembali. Tak akan
menjadikanku bersatu dengannya. Benar katamu Rey, dia bukan untukku.
Rey,
kau harus tau ini sulit bagiku, melewati malam tanpa berbicara dengannya,
merencanakan banyak hal tanpa bersepakat dengannya. Ini sulit Rey. Kau taukan
betapa banyak yang sudah kami rencanankan bersama? Tentang dimana anak pertama
kami akan lahir, tentang kampus tempatnya akan mengambil phd juga tempat aku
akan belajar shortcourse psikologi? Tentang mewarnai paspor kami bersama dengan
perjalanan menyenangkan, tentang dongeng bahasa apa yang akan aku dan dia
bacakan untuk anak-anak kami kelak, Rey, kau harus tau ketika saat in iak buka
kembali mimpi itu, aku melihat dirinya, aku melihat dirinya utuh bersama
mimpikku, dia adalah bagian dari mimpiku.
Berkali-kali
ku bujuk diriku sendiri untuk menjadi kuat, untuk memaafkan apa-apa yang hidup
berikan sepanjang tahun ini dan aku masih saja mencoba. Sampai akhinya aku
mengetahui bahwa dirinya memilih orang lain. Dan itu bukan aku.
Betapa hancurnya aku Rey, semudah itulah sesorang melupakan janjinya?. Aku
ingat betul kata-katanya, bahwa diamengiginkanku untuk menjadi teman hidupnya,
menjadi ibu dari anak-anaknya, menjadi tua bersamanya. Tapi apa Rey? Itu bukan
aku. Dia pergi tanpa kata yang bisa ku pahami sepatahpun, dia menghilang tanpa
suara. Menghilang begitu saja. Lenyap ditelan nestapa.
Malam ini, dipenghujung tahun ini, berapapun jumlah air
mata dan kekecewaan yang ku tuai. Ijikan aku bersyukur telah berhasil melewati
ini semua Rey. Bersyukur bahwa aku banyak belajar dari kehilanganku dan belajar
merangkai mimpi-mimpiku lagi.
Baiklah Rey, inginkah kau dengarkan cerita lainku di
tahun ini?
mungkin besok ya Ray. Mataku terlanjur bengkak.
Terimakasih Rayhana Muttaqiya
sahabatmu.
Bondeng