Kita bertemu dalam ruang-ruang hampa kata
Yang ada hanya udara dan gelisah
Kemudian kita duduk berdua
Di salah satu ruang dengan dinding berwarna gading.
Kita terpisah oleh meja putih dengan mawar segar di atasnya, kau pandangi aku dan mencoba memulai sapa.
Kau bertanya tentang bagaimana keadaanku selama ini.
Ku jawab aku sedang berjuang menyulam kembali benang yang terlanjur kusut yang pernah kau tinggalkan.
Kau terdiam.
Pelayan laki-laki berdasi datang menawarkan secangkir kopi dan sepotong kue pie. Kau tak mengiyakannya, kau minta padanya secangkir teh melati dan kentang goreng, pikirku kaubtelah berubah. Kau tak lagi meminum kopi.
Kau kembali bertanya, bagiamana dengan hatiku? Aku terdiam cukup lama, mengingat kembali rasa itu, mencoba memberi arti pada rasa yang selama ini ku pulihkan. Baik, dia telah sembuh. Jawabku sekenanya.
Di hadapanku, kini kau menangis. Ku pandangi dua garis air matamu, entahlah. Kelu rasanya bibirku ingin bertanya apa yang terjadi dalam hidupmu hingga kau memutuskan utk mengunjungiku.
Katamu, kau menyesal. Katamu yang dahulu ada kesalahanmu.
Tapi maaf, aku tak lagi mampu bersisihan denganmu. Terlampau sakit luka yg pernah kau tinggalkan hingga ku tak lagi merasakan hangat apapun tentangmu.
Sore itu, hujan baru saja turun di penghujung oktober terlambat tadi perkiraan dedaun pinggir jalan.
Aku meninggalkanmu di ruang hampa kata itu, aku bahkan tak mampu menoleh kearahmu yang memamnggilku untuk kembali duduk. Maaf tuan, sahaya harus segera beranjak. Hari telah sore dan malam sebentar lagi menyapa.
Segeralah tuan mengirim do'a ampunan, barangkali memang kita bisa bertemu pada bab pengecualian.
Tabik.
Depok, 27 Okt 2018