Dihadapan kening rembulan
Duduk aku bersama cangkir kopiku
Isinya hanya tinggal setengah
Menyisakan garis jejak kopi yang ku teguk sejak menit berganti tadi
Setengahnya lagi sengaja ku kosongkan
Sengaja ku isi dengan rasa yang tertinggal
Ku seruput setengah kopiku lengkap dengan rasa itu
Dihadapan kening rembulan malam ini
Aku tersenyum, tak semanis kopiku
Ada getir yang datang bersama sambar petir
Aku gagu, di hadapan sepiring kentang goreng hangat
Ah, aku selalu saja gagal menanggalkan sepiku
Rembulan kali ini meninggi, terlihat dari ujung-ujung kersen berjejer
Bulat buah kersen musim penghujn persis bulat rembulan malam ini
Merahnya pun mengalahkan merah senja
Adakah rembulan di langit kotamu?
Dapatkah kau melihat bulat sempurnanya?
Oiyah, katamu tak ada yang sempurna.
Pun rasa kita.
Tapi sungguh, bukan hanya kening bulan yang tampak indah
Malam pun begitu.
Tapi bagaimana malam ini akan indah tanpa kau di hadapanku?
Iya, kau benar. Tak ada yang sempurna.
Kening malam ini menemaniku menghabiskan sisa kopiku
Sambil memintal do'a dari sisa-sisa pengharapanku
Pintalan yang akan ku ulum ke hadapan arsy
Menyelimuti dinginmu disana
Menemani sepimu
Menjadi penawar lara dan penghapus bulir kesedihanmu
Menemanimu untuk menemuiku
Ku pintal dengan sisa-sisa memar dihatiku
Karena ku yakin Allah akan dengan segera tau
Usaha mana yang diperhitungkannya
Di kening rembulan, ku kecup pelan
Dihantarkan hujan
Aku kembali,
Kembali ke pelukan malam
Menghitung detak rindu yang tersisa
Berharap rindu ini tak membunuhku sia-sia
Hingga esok, bumi akan bercerita tentang do'a-do'a
Terimakasih Rembulan
Terimakasih juga kau, tempat separuh hatiku terbawa.
Depok, 12 Feb 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar