Senin, 29 Mei 2017

Ramadhan dan Rumah

Hari ke-3 ramadhan, berjalan seperti sewajarnya.  Masih mencoba melawan diri sendiri untuk banyak hal. 

Saya masibg ingin bernostalgia dengan suasana ramadhan di rumah.
Dulu ketika masih kecil, momen ramadhan selalu manis untuk dikenang.  Bangun sahur dengan mata yang tidak bisa diajak kompromi,  'paksaan' yg dtang dari bapak untuk minum bergelas-gelas air, maklumlah tempat kami pesisir pantai yang panasnya lumayan.  Bapak waktu itu selalu meminta kami semua minum tiga gelas air yang tinggi, konon satu gelas untuk pagi,  siang dan sore.

Selepas shubuh kami biasa berjalan pagi bersama,  menuju ujung desa. Menuju bibir pantai sambil tertawa dan menatap matahari terbit bersama. Jika tidak kami semua sepakat tidur hihihi

Disiang hari, selepas sholat dzuhur Bapak sering mengajak kami tadarrus bersama di ruang sholat kami yang mungil.  Membaca al-qur'an secara bergilir, saling membenarkan bacaan dan mendengarkan.  Ah,  ini manis sekali....tertanam dalam long term memoryku dan berharap besok lusa rumahku dengan keluarga kecilku akan begitu. 

Bakda ashar kami sudah mulai hectic untuk mempersiapkan takjil,  menu andalan biasanya jadi perundingan setelah sahur,  aku yang selalu meminta mamak membuat pallubutung,  bapak yang minta barongko, ewi yang mibta suro manis dan kholis yang mintaa jus, tak jarang permibtaan kami berakhir dengan voting.  Ah,  mamak dengan keahlian memasaknya mampu menghipnotis kami semua. 

Masa-masa mempersiapkan takjillah yg menjadi masa tersulit,  energi yang tersissa tak seberapa,  sedangkan tuntutan untuk mobilotas meningkat.  Tak jarang meminta untuk menghantarkan makanan kesukaan kakek,  atau menghantarkan menu berbuka ke rumah paman-paman. Betul-btul sore yang melehakan.

Magrib tiba,  kami melingkar di atas tikar plastik di ruang tengah,. Iya,  meja makan hanya formalitas di rumah kami karena setiap waktu makan kami selalu duduk melingkar di atas tikar tanp kursi...  Aku suka makan seperti ini. 

Tak jarang Bapak bercanda ketika makan,  atau sekedar bertutur tentang betapa enak masakan mamak yang tak pernah berubah sejak 25 tahub yang lalu,  mamak tersipu malu.  Merona.
Jangan tanya betapa lahap kami makan,  walau hanya sayur bayam bening dan ikan bakar.  Restoran elit mah gak bisa ngalahin.

Selepas tarawih kami kerap tadarus sendiri-sendiri atau berkumpul di ruang tengah. Berbaring di depan tivi.  Berjejer drngan kepala di lengan bapak.  Sambil menonton atau mendengar cerita bapak. 
Malam yang menyenangkan bukan?

Begitulah sekilas ramadhan di rumah kecilku,  di tengah pulau sana. 
Momen manis setiap tahun,  karena hanya pada momen ini kami lengkap di rumah.  Tertawa,  diomelin,  saling bercerita. Kemewahan tiada tara.

Bagaimana?  Bagaimana ramadhan di rumahmu?  Jadi kapan kita serumah dan seramadhan bareng?  *eeh 🙊🙈
(kidding)

Jumat, 26 Mei 2017

Ramadhan dan momen mengumpulkn memori

Saat menuliskan ini,  saya persis sedang duduk di dalam salah satu gerbong kereta listrik menuju jakarta,  saya duduk dengan menghadap senja. Terlihat bayang senja yang sesekali nampak dibalik pepohonana dan gedung menjulang.

Besok ramadhan dimulai,  entah kenapa saya merasa belum siap saja menyambut tamu yng hanya datangnya sekali setahun ini. pertama, karena minggu-minggu ini sampai dua minggu berikutnya saya masih harus bergulat dengan ujian semester.  Kedua,  seperti ada hutang yang belum terbayar tapi apa?,  saya merasa ada yang kurang untuk berhadapan dengan ramadhan kali ini. Ketiga,  akhir-akhir inu Depok panasnya menggila,  berada di luar rumah seperti terasa panas di ubun-ubun. 
Begitu sekilas keadaan saya sekarg. Serasa ada yang ganjil. Maafkan aku ramadhan :(

Tentang ramadhan,  entah mengapa moment ramadhan selalu berhasil membobgkar memori setahun terakhir,  mencari bongkahan-bongkahan kejadian di ramadhan Sebelumnya. 
Contohnya saja sekarang,  saya sedang membayangkan memulai puasa tahun lalu,  ditengah kesibukan persiapan bahasa di Bandung,  dengan teman-teman kelas yang menyenangkan,  berjalan bersama menuju masjid salman dan tertawa sepanjang perjalanan.  Ini memori manis sekali, sekali2 momen persiapan menu berbuka di kosku daerah cisitu. Memasak pallubutung ataupun ikan khas aceh.  Ah...  Saya rindu kebersamaan itu.
Ramadhan tahun sebelumnya saya habiskan setengahnya di Jogja,  berburu takjil di masjid-masjid terkenal.  Bangun sahur dan masak ksendiri...  Saya juga berhasil rindu jogja...
Sebelumnya lagi,  saya habiskan ramadhan di tempat kkn,  bersama teman-teman tim kkn dan anak2 lucu desa posko.  Menghabiskan waktu sore dengan vermain bersama anak-anak di TPA atau sekedar mempersiapkan menu berbuka bersama,  memancing,  memetik sayuran,  berbelajanja ke pasar ujubg desa...  Ah saya rindu kulonprogo...

Lihat bagaimana ramadhan berhasil menghimpun memori2 indah selama perjalanan setiap tahunnya,  menjadi saksi akan pertemuan,  perpisahan dan kebersamaan.

Apa kabar tim wani rekoso?  Apa kabar anak kos jogja?  Apa kabar rangers?  apa kabar masjid salman?  Apa kabar kamu? Iya kamu.  Yang sampai sekarg belum berhasil beranjak dari mimpi-mimpi disetiap malamku. 

Sebentar lagi manggarai,  dan perjalanan ramadhan tahun ini baru saja akan dimulai. Senoga ramadhan menjadi obat yang terluka,  mempertemukan yang terpisah dan mendamaikan diri. 

Stasiun cawang,  26 mei 2016

Senin, 22 Mei 2017

Jilbab si Bondeng

Saya ingat betul bagaimana perasaan saya waktu itu,  sekitar lebaran di tahun 2003 yaah 15 tahun yang lalu. 
Waktu itu paman saya baru saja menikahi seorang perempuan yang memilihnya.  Dan lebaran di tahun itu adalah lebaran pertama kami dengan bibi baru.

Seingat saya waktu itu adalah malam-malam di penghujung ramadhan,  paman dan bibi baru saja tiba dari pulau seberang.  Aku bahagia sekali waktu itu.
Pertama karena paman yang paling dekat denganku dan menjadi role modelku dalam belajar dan seperti biasa, paman selalu memperlakukanku dengan sangat baik dan aku hanya bisa bermanja dengannya.
Kedua, apalagi kalau bukan tentang kado lebaran yang menurutku spesial. 
Jadi begini kawan,  dalam tradisi keluarga intiku tidak dibenarkan membeli baju di luar lebaran,  karenanyalah momen lebaran jadi momen yg ditunggu karena pertanda satu baju baru akan jadi koleksi terbaik bertambah. 

Akan tetapi lebaran tahun itu benar-benar iatimewa,  untuk kali pertama aku mendapat kado lebaran dari paman kesayanganku.  Jilbab berwarna coklat susu dengan renda putih di bagian bawah dan pat depannya.  sebenarnya bukan hanya aku yang mendapat kado jilbab itu,  tapi semua keponakan paman yang lain, dan waktu itu aku bingu bg memilih apakah warna coklat atau peach. Karena ku tau Ewi menginginkan jibab peach itu,  ku berikan untuknya dan aku harus puas dengan warna coklat.  Sepertinya paman dan bibi membeli satu lusin dengan model yg sama dan .  Ah apapun itu, aku bahagia sekali memiliki jilbab pertamaku itu. 
Ku ingat betul bagaimana jibab itu menjadi jibab pertama dan andalanku sampai warnanya tak lagi coklat,  lebih lusuh.

Entah mengapa,  memori tentang jilbab dan euforia memiliki jilbab menyenangkan bila diingat.  Betapa 'Bondeng' kecil menyukai jilbabnya.
Masih teringat jelas potret tawa bahagiaku mematut diri di depan cermin sambil memperlihatkan jilbab baru pada paman.  Mungkin itu kali pertama aku jatuh cinta pada jilbab. 

Sepertinya sudah saatnya giliranku menghadiahi jilbab pada peri-peri kecil itu (tak perlu menunggu mereka punya 'kakak'baru,bukan?) :D
Dan semoga mereka jatuh cinta pada jilbab lebih awal dibanding Bondeng.

*anak2 mungkin lupa pelajaran sekolahnya,  tapi "rasa" yang pernah diterimanya akan selalu diingat.

Depok, ditengah2 bala tentara UAS yabg memyerang.
 
Mei 2017

Kamis, 18 Mei 2017

Baru saja rembulan berlalu

Baru saja rembulan berlalu
Meninggalkan jejak rindu
Berucap pisah pada jiwa-jiwa yg menunggu.
Hari masih terhitung
Sejauh mana harap-harap tergantung
Membujuk rembulan tuk tinggal lebih lama
Karna perginya mengundang nestapa
Tangis dan juga lara

Baru saja rembulan berlalu
Malam-malam setelahnya hampa
menyisakan bayang-bayang semata
Tak peduli akan lara durjana.
Rembulan tetap saja beranjak

Baru saja rembulan beralu
Tatapan terakhirnya menyisakan pilu
Seolah berkata tak perlu lagi kita bertemu
Karena hanya bintang yang pantas bersamamu

Malam sempurna terhitung
Rembulan kembali lagi
Membayar rasa yang pernah dimulai
Merajut harap yang terserak

Baru saja rembulan berlalu
Tapi satu pertanyaan yang inginku ujar
Masihkah kita di do'a yang sama?
Masihkah kita mengingat mimpi yang pernah kita rajut?
Masihkah ada namaku dalam do'amu?
Masihkah kau simpan bayangku dalam kelopak matamu?
Masihkah?
Masihkah aku ada dalam memori dan harapmu?
Jika kau bertanya padaku tentang itu
Maka jawabku hanya satu "iya,  masih"
Semuanya masih sama.

Baru saja rembulan berlalu
Hujan pun begitu
Tapi ku harap kau tak lupa begitu saja
Bahwa ada 'kita' yang dulu kita semogakan
Semoga kau baik-baik saja.

Depok.  21 Mei 2017

Kamis, 11 Mei 2017

Perihal mimpi (II)

Ada kabar apa yang ingin dibawa mimpi?  dari sekian banyak kemungkinan hal,  peristiwa,  tempat dan cerita yang bisa jadi mimpi saya selalu tak pernah puas menemukan jawaban atas alasan mengapa harus mimpi itu yg datang.
Kisahnya selalu menyisakan tanya ketika terbangun.

Di mimpi itu,  matahari sedang terik-teriknya saya baru saja mendapat telfon dari teman di kota ribuan kilometer dari tempat saya berdiri saat itu,  di ujung sana terdengar suaranya berkabar tentang keadaan tidak menyenangkan.  Kau jatuh sakit dan sedang dirawat.
Ku tutup telfon itu setelah mengiyakan permintaan si penelfon untuk segera ke rumah sakit.  Aku menghela nafas panjang.  Aku harus berangkat segera. 

Tak lama berselang,  aku menemukan diriku berdiri di depan rumah sakit besar kota besar itu,  aku tak tau bagaimana bisa secepat itu aku berdiri di sana.  Aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit,  tercium bebauan khas, bebauan dari obat yang bercampur dengan pengahrum ruangan dan juga cairan pel lantai.  lorong itu lengang, ku rasakan kecemasan yang tiba-tiba membungkus diriku,  kecemasan yang entah datang dari mana. Aku mempercepat langkah menuju kamar yang disebut penelfon tadi.

Sekarang aku berdiri tegak didepan pintu dengan kaca tebal dan gagang besi.  Tanganku kelu,  kakiku beku.  Perlahan ku tarik nafasku ku atur ritme jantungku.  Ku bujuk diriku untuk segera masuk, detik terlewati,  menitpun begitu. 
Kekuatan itu muncul berlahan,  ku sentuh gagang besi 15 derajat ke bawah dan perlahan pintu itu terbuka..

Ku temukan dirimu berbalut pakaian hijau,  khas sekali dengan rumah sakit. Belalai panjang selang yang tersambubg dengan tangan kirimu tak bergoyang sedikit pun.  Tak seorangpun di sana.  Pipiku tiba-tiba basah.
Kau terlihat tertidur dan pucat pasih. Tersendu aku dalam tangisku. 

Ku dekati dirimu, ku tatap dalam-dalam wajah sendumu. Tersadarkan aku betapa aku merindukan dirimu.  Aku masih menangis.

Sekarang Aku terduduk di sampingmu, dibenakku hadir tawamu,  ceritamu,  wajah seriusmu,  semuanya. Di telingaku ku dengar renyah tawamu,  panggilan nakalmu, bullyanmu,  semuanya.
Ku genggam erat tangan pucatmu.  Aku masih menangis dan kau tak jua terbangun.

Menit berlalu, jam berganti. Aku tertidur di sampingmu.  Aku terbangun ketika suara itu datang.  Terdengar suara gopoh menuju kamar ini. 
Seorang wanita paruh baya masuk bersama dua orang gadis remaja dan seorang gadis seumuran denganku.  Mereka menatapku seolah bertanya "siapa kau?  Sedang apa kau disini?" aku berdiri menyambut mereka dengan senyum yang ku letakkan sekenanya. 

Perempuan paruh baya itu tumpah menangis dan memelukmu, begitu juga dua gadis kecil itu.  Hanya gadis yang seumuran denganku yang berdiri mematung. 

Aku tau,  itu Ibumu dan kedua adikmu.  Aku pernah mendengar suara mereka di telfon waktu itu.  Tapi siapa perempuan berjilbab peach itu? 
Ruangan itu kini telah benar-benar asing bagiku.  Aku seolah tak ada.
Ibumu meliriku seolah berkata "apa yang kau tunggu wahai gadis?"
Aku tertunduk,  bingung hendak menjawab apa.  Seolah ingin segera lari tapi kakiku tertahan disana. 

Di tengah kebingunganku,  ibumu menghampiriku dan memegang tanganku. Mengajakku keluar dari kamar itu, tapi aku tak ingin meninggalkanmu.  Hatiku memanggilmu,  "ayolah bangun,  temani aku keluar bersama ibumu".
Tapi sepertinya suaraku tercekat di hati,  ku ikuti langkah ibumu keluar dari sana. 

"nak Dini,  saya tau kamu mencintainya,  saya bisa lihat dari bahasa matamu. Tapi keadaan sepertinya tak bernasib baik Nak.  Kau lihat tadi perempuan berkerudung peach itu?  Dia adalah gadis yang kami pilih untuknya. Jadi saya mohon,  tinggalkan dia." kata-kata itu terdengar begitu menyayat hati.  Aku kaku. Air mataku membeku, tubuhku juga... Sambil memegang tanganku,  Ibumu baru saja menjelaskan sesuatu yang mudah saja aku fahami. 
Aku tersnyum,  entah dari mana ku temukan kekuatan itu.  Sambil berkata "iye' Tante,  saya mengerti apa yang harus saya lakukan untuk orang yang saya cintai,  semoga berbahagia" akupin bingung dari mana keberanian itu ku dapatkan. 

Pembicaraan itu berakhir dengan pelukan hangat untukku dari ibumu di ujung lorong rumah sakit itu.  Dan setelah itu aku berdiri disana sendirian. 

Segera aku berlari entah menuju pintu apa,  aku tak peduli, aku ingin menangis sejadi-jadinya.  Rasa-rasanya dadaku sesak sekali.

Kini aku terduduk di kursi taman rumah sakit itu,  kata-kata yg baru saja ku dengar menggema,  wajah perempuan itu,  wajahmu,  wajah ibumu berganti cepat sekali sekali dimataku.  Aku menangis sendirian disana.  .tersedu lama sekali. 
Seorang tiba-tiba mendekatiku,  suaranya pelan namun berat " yang sabar ya Din,  kamu pasti kuat". Iya itu suara yang menelfonku tadi. 
"terimakasih Bawan,  sya sekarang mengerti". Balasku sekenanya sambil sibuk mengatur nafas karena sesak. 

Aku beranjak,  saatnya kembali ke kotaku. Aku terbangun,  masih dengan mata sembab. 

Depok,  Mei 2017

Senin, 08 Mei 2017

Obrol-obrol

Sore itu, langit mencekam,  bebunyian berderu dari langit, kilat menyambar.  Pertanda hujan akan turun menghujam tanah di penutup hari ini.
Saya memutuskan untuk menumpang mobil yg saya pesan secara online menuju rumah sakit,  di sepanjang perjalanan Bapak pengemudi membuka perbincangan seru itu.  Beliau laki-laki yang kutebak berumur 50an awal,  beliau memperkenalkan dirinya sebagai keturunan suku besar di Sumatra. 
Perbincangan kami berawal dari pertanyaan beliau tentangku,  hal ap yg membawaku sampai ke tanah metropolitan ini. Awalnya hanya ku jawab sekenanya,  karena aku sibuk memperhatikan hujan di luar sana.
Beliau bertanya tentang kesibukanku dan segera berceramah panjang ketika ku jawab dengan bilangan umur 24 dan status mahasiswi. 
"mbak,  kita boleh saja sibuk dengan mimpi2 kita,  cita-cita dan pekerjaan kita.  Tapi itu semua bukan alasan untuk tidak memikirkan kebutuhan akan menikah" begitu kira-kira kalimat pembuka beliau. 
Hujan di luar semakin deras, aku tersenyum sembari mengangguk mengiyakan itu.  Beliau kemudian bercerita tentang perjalanan beliau,  pekerjan,  sekolah,  sampai pada titik beliau bercerita tentang penyesalan.  Beliau menyebitnya sebagai penyesalan yang tak bisa disesali.  Apa pasalnya?  beliau melanjutkan "saya menyesal mbak,  saya baru menikah di umur 38, sekarng anak saya masih kecil saya sudh setua ini,  Saya menyesal atas keegoisan saya dulu karna menunda pernikahan". Aku mendengar dengan seksama suara Bapak yang sdah mulai bergetar itu. 
Aku bertanya sekenanya "mengapa Bapak memilih menikh di umur 38?" beliu tertawa geli mendengar pertanyaan konyolku.  Dan menjawab "saya tidak pernah memilih menikah di umur segini mbak,  tapi namanya perasaan kita tidak bisa paksakan" beliau menghembuskan nafas berat sekali.  beliau melanjutkan cerita tentang alasan dan sekelumit perjalanan beliau tentang masa lalu yang mau tidak mau menjadi alasan beliu menikah 'terlambat'.
Adalah seorng gadis yang berhasil membiatnya terpikat untuk pertama kali di bangku SMP, hubungn mereka berlanjut di SMA dan terbawa sampai keduanya melanjutkan studi di kota Istimewa Jogja. Pendek cerita, setamat kuliah beiau mendapatkan pekerjaan di Jakarta dan wanit pujaan hatinya memilih untuk melanjutkan studi dan tetap di Jogja. Tahun berganti,  tapi tidak dengan rasa sampai pada suatu saat keputusan besar harus menjadi pemisah kebersamaan mereka selama bertahun-tahun itu. Wanita yang dicintainya menikah atas desakan kedua orangtuanya,  meninggalkan laki-laki yang selama ini bersamany. 
"Sejak saat itu saya tak lagi berfikir akan menikah" sambungnya dengn suara tercekat. 
"Saya kembali melanjutkan hidup saya,  sibuk bekerja, berpindah dari satu kota ke kota yang lain, dan melihat dari kejauhan wanita yang saya tak sempat memilikinya" kalimat terakhirnya turun.  Aku sibuk mencari cara mengalihkan pembicaraan, ditengah hujn dan macet yang menjadi-jadi aku tak ingin Pria yang mengendarai mobil ini tiba-tiba hilang kontrol.
Tapi kekhawatiranku sepertinya berlebihan,  beberapa saat setelah beliau bercerita kegetiran itu,  baliau tersenyum. "mbak tau saya akhirnya menikah dengan siapa?, saya menikah dengan wanita palibg baik yg pernah saya temui.  Kami bertemu di acara reuni kampus. Dia senior saya jauuuh dulu. Ah saya tidak pernah menyangka reuni itu menjadi pintu kebahagiaan saya" tutur beliau dengan semangat. 
Beliau bercerita bgaimana perjalanan mendekati,  melamar dan khirnya menikahi perempuan Jawa itu.
Aku menarik nafas lega mendengar penutup cerita yang berbahagia itu.  Gedung rumah sakit tujuanku sudah nampak dari kejauhan,  aku hampir tiba.  Bapak pengemudi menutup perjumpaan kami dengan berkata "sukses ya mbk kuliahnya,  snoga segera mendapat pendamping". Aku tersenyum dan mengaminkan, tak lupa ku ucapkan terimakasih untuk cerita dan bintang lima di aplikasi onlineku.

Obrol-obrol

Sore itu, langit mencekam,  bebunyian berderu dari langit, kilat menyambar.  Pertanda hujan akan turun menghujam tanah di penutup hari ini.
Saya memutuskan untuk menumpang mobil yg saya pesan secara online menuju rumah sakit,  di sepanjang perjalanan Bapak pengemudi membuka perbincangan seru itu.  Beliau laki-laki yang kutebak berumur 50an awal,  beliau memperkenalkan dirinya sebagai keturunan suku besar di Sumatra. 
Perbincangan kami berawal dari pertanyaan beliau tentangku,  hal ap yg membawaku sampai ke tanah metropolitan ini. Awalnya hanya ku jawab sekenanya,  karena aku sibuk memperhatikan hujan di luar sana.
Beliau bertanya tentang kesibukanku dan segera berceramah panjang ketika ku jawab dengan bilangan umur 24 dan status mahasiswi. 
"mbak,  kita boleh saja sibuk dengan mimpi2 kita,  cita-cita dan pekerjaan kita.  Tapi itu semua bukan alasan untuk tidak memikirkan kebutuhan akan menikah" begitu kira-kira kalimat pembuka beliau. 
Hujan di luar semakin deras, aku tersenyum sembari mengangguk mengiyakan itu.  Beliau kemudian bercerita tentang perjalanan beliau,  pekerjan,  sekolah,  sampai pada titik beliau bercerita tentang penyesalan.  Beliau menyebitnya sebagai penyesalan yang tak bisa disesali.  Apa pasalnya?  beliau melanjutkan "saya menyesal mbak,  saya baru menikah di umur 38, sekarng anak saya masih kecil saya sudh setua ini,  Saya menyesal atas keegoisan saya dulu karna menunda pernikahan". Aku mendengar dengan seksama suara Bapak yang sdah mulai bergetar itu. 
Aku bertanya sekenanya "mengapa Bapak memilih menikh di umur 38?" beliu tertawa geli mendengar pertanyaan konyolku.  Dan menjawab "saya tidak pernah memilih menikah di umur segini mbak,  tapi namanya perasaan kita tidak bisa paksakan" beliau menghembuskan nafas berat sekali.  beliau melanjutkan cerita tentang alasan dan sekelumit perjalanan beliau tentang masa lalu yang mau tidak mau menjadi alasan beliu menikah 'terlambat'.
Adalah seorng gadis yang berhasil membiatnya terpikat untuk pertama kali di bangku SMP, hubungn mereka berlanjut di SMA dan terbawa sampai keduanya melanjutkan studi di kota Istimewa Jogja. Pendek cerita, setamat kuliah beiau mendapatkan pekerjaan di Jakarta dan wanit pujaan hatinya memilih untuk melanjutkan studi dan tetap di Jogja. Tahun berganti,  tapi tidak dengan rasa sampai pada suatu saat keputusan besar harus menjadi pemisah kebersamaan mereka selama bertahun-tahun itu. Wanita yang dicintainya menikah atas desakan kedua orangtuanya,  meninggalkan laki-laki yang selama ini bersamany. 
"Sejak saat itu saya tak lagi berfikir akan menikah" sambungnya dengn suara tercekat. 
"Saya kembali melanjutkan hidup saya,  sibuk bekerja, berpindah dari satu kota ke kota yang lain, dan melihat dari kejauhan wanita yang saya tak sempat memilikinya" kalimat terakhirnya turun.  Aku sibuk mencari cara mengalihkan pembicaraan, ditengah hujn dan macet yang menjadi-jadi aku tak ingin Pria yang mengendarai mobil ini tiba-tiba hilang kontrol.
Tapi kekhawatiranku sepertinya berlebihan,  beberapa saat setelah beliau bercerita kegetiran itu,  baliau tersenyum. "mbak tau saya akhirnya menikah dengan siapa?, saya menikah dengan wanita palibg baik yg pernah saya temui.  Kami bertemu di acara reuni kampus. Dia senior saya jauuuh dulu. Ah saya tidak pernah menyangka reuni itu menjadi pintu kebahagiaan saya" tutur beliau dengan semangat. 
Beliau bercerita bgaimana perjalanan mendekati,  melamar dan khirnya menikahi perempuan Jawa itu.
Aku menarik nafas lega mendengar penutup cerita yang berbahagia itu.  Gedung rumah sakit tujuanku sudah nampak dari kejauhan,  aku hampir tiba.  Bapak pengemudi menutup perjumpaan kami dengan berkata "sukses ya mbk kuliahnya,  snoga segera mendapat pendamping". Aku tersenyum dan mengaminkan, tak lupa ku ucapkan terimakasih untuk cerita dan bintang lima di aplikasi onlineku.