Kamis, 11 Mei 2017

Perihal mimpi (II)

Ada kabar apa yang ingin dibawa mimpi?  dari sekian banyak kemungkinan hal,  peristiwa,  tempat dan cerita yang bisa jadi mimpi saya selalu tak pernah puas menemukan jawaban atas alasan mengapa harus mimpi itu yg datang.
Kisahnya selalu menyisakan tanya ketika terbangun.

Di mimpi itu,  matahari sedang terik-teriknya saya baru saja mendapat telfon dari teman di kota ribuan kilometer dari tempat saya berdiri saat itu,  di ujung sana terdengar suaranya berkabar tentang keadaan tidak menyenangkan.  Kau jatuh sakit dan sedang dirawat.
Ku tutup telfon itu setelah mengiyakan permintaan si penelfon untuk segera ke rumah sakit.  Aku menghela nafas panjang.  Aku harus berangkat segera. 

Tak lama berselang,  aku menemukan diriku berdiri di depan rumah sakit besar kota besar itu,  aku tak tau bagaimana bisa secepat itu aku berdiri di sana.  Aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit,  tercium bebauan khas, bebauan dari obat yang bercampur dengan pengahrum ruangan dan juga cairan pel lantai.  lorong itu lengang, ku rasakan kecemasan yang tiba-tiba membungkus diriku,  kecemasan yang entah datang dari mana. Aku mempercepat langkah menuju kamar yang disebut penelfon tadi.

Sekarang aku berdiri tegak didepan pintu dengan kaca tebal dan gagang besi.  Tanganku kelu,  kakiku beku.  Perlahan ku tarik nafasku ku atur ritme jantungku.  Ku bujuk diriku untuk segera masuk, detik terlewati,  menitpun begitu. 
Kekuatan itu muncul berlahan,  ku sentuh gagang besi 15 derajat ke bawah dan perlahan pintu itu terbuka..

Ku temukan dirimu berbalut pakaian hijau,  khas sekali dengan rumah sakit. Belalai panjang selang yang tersambubg dengan tangan kirimu tak bergoyang sedikit pun.  Tak seorangpun di sana.  Pipiku tiba-tiba basah.
Kau terlihat tertidur dan pucat pasih. Tersendu aku dalam tangisku. 

Ku dekati dirimu, ku tatap dalam-dalam wajah sendumu. Tersadarkan aku betapa aku merindukan dirimu.  Aku masih menangis.

Sekarang Aku terduduk di sampingmu, dibenakku hadir tawamu,  ceritamu,  wajah seriusmu,  semuanya. Di telingaku ku dengar renyah tawamu,  panggilan nakalmu, bullyanmu,  semuanya.
Ku genggam erat tangan pucatmu.  Aku masih menangis dan kau tak jua terbangun.

Menit berlalu, jam berganti. Aku tertidur di sampingmu.  Aku terbangun ketika suara itu datang.  Terdengar suara gopoh menuju kamar ini. 
Seorang wanita paruh baya masuk bersama dua orang gadis remaja dan seorang gadis seumuran denganku.  Mereka menatapku seolah bertanya "siapa kau?  Sedang apa kau disini?" aku berdiri menyambut mereka dengan senyum yang ku letakkan sekenanya. 

Perempuan paruh baya itu tumpah menangis dan memelukmu, begitu juga dua gadis kecil itu.  Hanya gadis yang seumuran denganku yang berdiri mematung. 

Aku tau,  itu Ibumu dan kedua adikmu.  Aku pernah mendengar suara mereka di telfon waktu itu.  Tapi siapa perempuan berjilbab peach itu? 
Ruangan itu kini telah benar-benar asing bagiku.  Aku seolah tak ada.
Ibumu meliriku seolah berkata "apa yang kau tunggu wahai gadis?"
Aku tertunduk,  bingung hendak menjawab apa.  Seolah ingin segera lari tapi kakiku tertahan disana. 

Di tengah kebingunganku,  ibumu menghampiriku dan memegang tanganku. Mengajakku keluar dari kamar itu, tapi aku tak ingin meninggalkanmu.  Hatiku memanggilmu,  "ayolah bangun,  temani aku keluar bersama ibumu".
Tapi sepertinya suaraku tercekat di hati,  ku ikuti langkah ibumu keluar dari sana. 

"nak Dini,  saya tau kamu mencintainya,  saya bisa lihat dari bahasa matamu. Tapi keadaan sepertinya tak bernasib baik Nak.  Kau lihat tadi perempuan berkerudung peach itu?  Dia adalah gadis yang kami pilih untuknya. Jadi saya mohon,  tinggalkan dia." kata-kata itu terdengar begitu menyayat hati.  Aku kaku. Air mataku membeku, tubuhku juga... Sambil memegang tanganku,  Ibumu baru saja menjelaskan sesuatu yang mudah saja aku fahami. 
Aku tersnyum,  entah dari mana ku temukan kekuatan itu.  Sambil berkata "iye' Tante,  saya mengerti apa yang harus saya lakukan untuk orang yang saya cintai,  semoga berbahagia" akupin bingung dari mana keberanian itu ku dapatkan. 

Pembicaraan itu berakhir dengan pelukan hangat untukku dari ibumu di ujung lorong rumah sakit itu.  Dan setelah itu aku berdiri disana sendirian. 

Segera aku berlari entah menuju pintu apa,  aku tak peduli, aku ingin menangis sejadi-jadinya.  Rasa-rasanya dadaku sesak sekali.

Kini aku terduduk di kursi taman rumah sakit itu,  kata-kata yg baru saja ku dengar menggema,  wajah perempuan itu,  wajahmu,  wajah ibumu berganti cepat sekali sekali dimataku.  Aku menangis sendirian disana.  .tersedu lama sekali. 
Seorang tiba-tiba mendekatiku,  suaranya pelan namun berat " yang sabar ya Din,  kamu pasti kuat". Iya itu suara yang menelfonku tadi. 
"terimakasih Bawan,  sya sekarang mengerti". Balasku sekenanya sambil sibuk mengatur nafas karena sesak. 

Aku beranjak,  saatnya kembali ke kotaku. Aku terbangun,  masih dengan mata sembab. 

Depok,  Mei 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar