Senin, 08 Mei 2017

Obrol-obrol

Sore itu, langit mencekam,  bebunyian berderu dari langit, kilat menyambar.  Pertanda hujan akan turun menghujam tanah di penutup hari ini.
Saya memutuskan untuk menumpang mobil yg saya pesan secara online menuju rumah sakit,  di sepanjang perjalanan Bapak pengemudi membuka perbincangan seru itu.  Beliau laki-laki yang kutebak berumur 50an awal,  beliau memperkenalkan dirinya sebagai keturunan suku besar di Sumatra. 
Perbincangan kami berawal dari pertanyaan beliau tentangku,  hal ap yg membawaku sampai ke tanah metropolitan ini. Awalnya hanya ku jawab sekenanya,  karena aku sibuk memperhatikan hujan di luar sana.
Beliau bertanya tentang kesibukanku dan segera berceramah panjang ketika ku jawab dengan bilangan umur 24 dan status mahasiswi. 
"mbak,  kita boleh saja sibuk dengan mimpi2 kita,  cita-cita dan pekerjaan kita.  Tapi itu semua bukan alasan untuk tidak memikirkan kebutuhan akan menikah" begitu kira-kira kalimat pembuka beliau. 
Hujan di luar semakin deras, aku tersenyum sembari mengangguk mengiyakan itu.  Beliau kemudian bercerita tentang perjalanan beliau,  pekerjan,  sekolah,  sampai pada titik beliau bercerita tentang penyesalan.  Beliau menyebitnya sebagai penyesalan yang tak bisa disesali.  Apa pasalnya?  beliau melanjutkan "saya menyesal mbak,  saya baru menikah di umur 38, sekarng anak saya masih kecil saya sudh setua ini,  Saya menyesal atas keegoisan saya dulu karna menunda pernikahan". Aku mendengar dengan seksama suara Bapak yang sdah mulai bergetar itu. 
Aku bertanya sekenanya "mengapa Bapak memilih menikh di umur 38?" beliu tertawa geli mendengar pertanyaan konyolku.  Dan menjawab "saya tidak pernah memilih menikah di umur segini mbak,  tapi namanya perasaan kita tidak bisa paksakan" beliau menghembuskan nafas berat sekali.  beliau melanjutkan cerita tentang alasan dan sekelumit perjalanan beliau tentang masa lalu yang mau tidak mau menjadi alasan beliu menikah 'terlambat'.
Adalah seorng gadis yang berhasil membiatnya terpikat untuk pertama kali di bangku SMP, hubungn mereka berlanjut di SMA dan terbawa sampai keduanya melanjutkan studi di kota Istimewa Jogja. Pendek cerita, setamat kuliah beiau mendapatkan pekerjaan di Jakarta dan wanit pujaan hatinya memilih untuk melanjutkan studi dan tetap di Jogja. Tahun berganti,  tapi tidak dengan rasa sampai pada suatu saat keputusan besar harus menjadi pemisah kebersamaan mereka selama bertahun-tahun itu. Wanita yang dicintainya menikah atas desakan kedua orangtuanya,  meninggalkan laki-laki yang selama ini bersamany. 
"Sejak saat itu saya tak lagi berfikir akan menikah" sambungnya dengn suara tercekat. 
"Saya kembali melanjutkan hidup saya,  sibuk bekerja, berpindah dari satu kota ke kota yang lain, dan melihat dari kejauhan wanita yang saya tak sempat memilikinya" kalimat terakhirnya turun.  Aku sibuk mencari cara mengalihkan pembicaraan, ditengah hujn dan macet yang menjadi-jadi aku tak ingin Pria yang mengendarai mobil ini tiba-tiba hilang kontrol.
Tapi kekhawatiranku sepertinya berlebihan,  beberapa saat setelah beliau bercerita kegetiran itu,  baliau tersenyum. "mbak tau saya akhirnya menikah dengan siapa?, saya menikah dengan wanita palibg baik yg pernah saya temui.  Kami bertemu di acara reuni kampus. Dia senior saya jauuuh dulu. Ah saya tidak pernah menyangka reuni itu menjadi pintu kebahagiaan saya" tutur beliau dengan semangat. 
Beliau bercerita bgaimana perjalanan mendekati,  melamar dan khirnya menikahi perempuan Jawa itu.
Aku menarik nafas lega mendengar penutup cerita yang berbahagia itu.  Gedung rumah sakit tujuanku sudah nampak dari kejauhan,  aku hampir tiba.  Bapak pengemudi menutup perjumpaan kami dengan berkata "sukses ya mbk kuliahnya,  snoga segera mendapat pendamping". Aku tersenyum dan mengaminkan, tak lupa ku ucapkan terimakasih untuk cerita dan bintang lima di aplikasi onlineku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar