Rabu, 27 April 2016

hectic morning

tadi pagi sebenarnya gak ada yanng berbeda dari pagi2 sebelumya, bangun pagi, sholat kemudian menyiapkan diri untuk ke kampus (ya seperti biasaa banget kan) tapi, saya melemnya punya ide jail-mungkin lebih tepatnya adalah menjahili diri sendiri- dengan berniat menyibukkan diri di pagi buta, ide menyiapkan sarapan, sebenrnya gak ada yang spesial dari dua lembar rooti tawar, sebutir telur dan segelas susu kental manis, hehe
saya biasanya hanya mengoles beberapa lembar roti tawar untuk sarapan, tapi gak tau kenapa tadi pagi saya mau beda!!. akhirnya saya putusnya bikin sandwich paling sederhana sejagat raya, cuma teflon yang dilumuri margarine dan dipanaskan dan saya (seolah) memanggang roti dan kemudian buat sunni-side up egg (telor mata sapi bahasa kereenya :)) dan buat segelas susu. hmm nampak sederhana bukan?
 Tapi you know what gaes?? pffftttt, sepanjang jalan ke kampus sarapan ala saya pagi tadi bener2 menguras pikiran. saya tiba-tiba keingat betapa kerennya mamak di rumah. bayangkan saja saya baru sehari saja sok2 menyibukkan diri dengan sarapan (yang itupun untuk saya sendiri) saya sudah ngerasa pagi saya bener2 menguras enegri. nah, mamak? sudah menikah 24 tahun, dan hitung berapa paginya? ahhh....
saya tiba2 jadi mello, kalo inget mamak yang setiap pagi bangun dan langsung beraksi di dapur ketika kami seisi rumah masih dibelai mimpi, mamak sudah beraksi selayaknya koki profesional jebolan acara-acra masak di tipi. sembari nungguin masakan di kompor, mamak sigap meneriaki kami satu-satu untuk membangunkan kami dan mengomel dengan omelan yang sama, kalo kami gak bangun2 dan mamak memilih diam itu bertanda kiamat bagi kami, karna bisa dipastikan kami akan telat banget. 
gak sampai disitu, mamak akan selalu memastikan kami semua berangkat ke sekolah dengan perut terisi (saya belm berhasil nangkap makna filosofis dari ini), belum lagi harus nyiapin apa-apa yang harus dibawa bapak ke sawah atau ke ladang. dan mamak ngerjain itu semua lhoo..baru setelah semua beres mamak yang bergegas menuju tempat kerja. huuuft

gak bisa ngebayangin pagi sehectic itu. so, i proud of you mom, i learn many great things from you. i love you, i adore you, i miss you with all my heart. 
i hope i can be as strong as you *


Cisitu dingin, 28042016

Senin, 25 April 2016

Oleh-oleh dari kelas speaking mr.Dave


Sebenarnya ini bukan pengalaman pertama saya (mungkin juga kalian) dalam belajar bahasa asing dengan  menggunakan metode bermain, sebagai calon pengajar bahasa asing saya tertarik dengan beberapa pengalaman belajar menggunakan permainan yang diberikan di salah satu kelas bahasa yang saya ikuti beberapa minggu terakhir ini, saya terkesan dengan pengajar yang native speaker karena belajar ekspresi dalam bahasa asing dari penututr aslinya tentu saja memiliki daya tarik tersendiri bagi saya, nah sekaarang saya mau bercerita bagaimana serunya permainan saya siang tadi.
Menurut pengajar kami, memulai berbicara dan menulis tentang diri sendiri adalah awal yang untuk mebiasakan diri menulis, karena apa? Tentu saja karena kitalah yang sangat mengerti kita, perasaan kita, pengalaman, orang yang kita kagumi, tempat yang ingin kita kunjungi tahun depan, harapan-harapan atau mungkin kesedihan-kesedihan dan juga masalah kita. Jadi yang pertama kali saya note dalam mengajarkan speaking atau writing adalah:
Ada beberapa pertanyaan “pancingan” untuk memulai memberikan stimulus untuk pelajar untuk mulai menulis atau speaking, seperti:
“sebutkan satu nama orang yang kamu kagumi! Sebutkan umurnya, siapa dia, apa profesinya, apa hobinya,  apa yang buat kamu kagum dan apa yang paling berkesan dari dia”
Untuk kelas menulis biasanya kelas dibagi berpasangan-pasangan, bisa menggunakan cara interview dan writing report atau dengan menulis sesuai jawaban pertanyaan yang sudah disediakan, kemudian teman di sampingnya mengoreksi (peer reviewer), si teman mengoreksi beberapa hal seperti: judul, penggunaan tanda baca, pemilihan diksi, keseuaian gramatikal (ini bisa disesuaikan dengan indikator belajar ya J )
Nah untuk kelas speakin Mr.Dave memberikan kami semaca kertas yang sudah di rancang seperti ular tangga tapi dituliskan beberpa pertanyaan seperti :
“apa makanan kesukaanmu, negara yang jadi impianmu, kamu suka sekolah atau hari libur, pendapat kamu tentang rokok, warna favorite, hobi ketika akhir pekan dan seterusnya”
Bagaiamna cara belajarnya?
1. kelas dibagi dalam beberapa kelompok kecil yang terdiri dari 3-4 orang (disesuaikan dengan jumlah siswa
2. setiap kelompok dibekali selembar kertas “ular tangga” lengakap dengan nomer dan juga pertanyaannya
3. setiap anak memegang tanda dan memulai dari garis start
4. permainan di mulai denga bergantian melempar dadu dan juga memindahkan point mereka masing-masing ke nomer yang tertera di dadu
5 siswa diminta berbicara, menjawab atau mengutarakan pendapat sesuai dengan kotaknya.
6. siswa lain diber kesempatan member respon, pertanyaan atau opini terhadap jawaban teman sekelopoknya
7. setiap anak diberi ksempatan berbicara selama 1 menit
8. selamat mencoba dan bermain J

Oiyah, selain dilatih berbicara dan menulis. di kegiatan kelas ini kami bisa lebih mengenal satu sama lain, belajar dari pengalaman orang lain, dan kadang mendapat pelajaran-[elajaran berharga. Seperti misalnya pengalaman teman yang pernah keluar negeri untuk misi agama atau mimpi-mimpi luar biasa mereka.

Bandung, 25042016

Masih tentang kelas PB ITB

Sabtu, 23 April 2016

Tanah rantau keempat

Di tanah ini, senja dan mentari tak nampak jingganya
Mungkin karena balok-balok menjulang tinggi itu mengalahkannya
Di tanah ini, setiap orang berjibaku dengan diri dan pikirannya sendiri
Seoalah kebahagiaan tak dapat dipertaruhkan
Bahkan tuk tersenyum saja, aku harus menjadi aneh terlebih dahulu
Di tanah ini, hidup sepenuhnya dikuasai masa depan
Tak ada harga untuk sapa hangat dan seutas senyum
Tapi di tanah ini
Waktu, mendapat tempat disetiap langkah kaki
Rasa hormat padanya setinggi balok-balok itu
Segalanya berkejaran dengannya
Meski terkadang nampak semu, fatamorgana dan tak bernyawa
Di tanah ini, terlalu banyak topeng bertebaran
Yang semetinya tersedu, malah terbahak
Yang mestinya tergelak tersekat
Di tanah ini, entah apa definisi bahagia
Mungkin, perlu tinggal barang sewindu

Di tanah ini, ditanah rantau keempat

Parahiyangan, 24042015

Jumat, 22 April 2016

Gadis (Bugis) yang hilang

Sebenarnya menulis bagian ini menyedihkan bagi saya, mengapa? Karena menulis ini seperti membuka luka lama dan bertanda saya menatap kekalahan saya sendiri. Jadi begini, seringkali ketika kita berkenalan dengan orang baru di suatu tempat yang pertama kali ditanyakan adalah sudah barang tentu nama, contohnya: (sambil jabat tangan atau dengan ber “hai” kita menyebukan nama) dan sejurus kemudian lawan bicara kita melakukan hal yang sama. Pertanyaan kedua kadangkala berupa, tinggal dimana? Atau dari mana asalnya? Dan pertanyaan-pertanyaan umum lainnya. Sebenarnya sejauh ini saya tidak mengalami masalah serius dalam menjawab pertanyaan selama berkenalan, tapi ketika bertemu dengan orang bersuku Bugis atau dari belahan mana saja dari pulau berbentuk huruf “K” (read: Sulawesi) disini kadang saya merasa ada sedikit rasa aneh, karena pertanyaannya setelah asal adalah apakah lawan bicara saya bisa berbahasa Bugis atau tidak, beberapa dari mereka akan langsung spontan menjawab dengan kembali bertanya “bisa bahas bugis mb?, emang asli mana? Kok bisa bahasa bugis? Dan seterusnya, nah ini momen paling mencekik menurut saya, saya sejatinya keturunan Bugis, pasalnya nenek kakek saya berasal dari sana, tapi hari ini, 24 tahun 22 hari saya menempati bumi ini belum juga meginjakkan kaki sedikitipun di tanah Bugis. Saya pun sering lupa daerah mana pendahulu saya berasal, bone, pindrang, atau mungkin bagian yang lain.
Perihal daerah asal saya sudah sering sekali bertanya kepada Mamak, dan pasti diberitahukan tapi. Huuft..kemampuan saya mengingat tempat yang belum saya kunjungi sangat payah. Nah satu lagi yang mengusik adalah perasaan saya adalah tentang “gadis Bugis yang hilang” menjadi-jadi ketika diajak bahasa Bugis secara spontan, awwededeeeeh…kasii’na…. saya hanya pengguna pasif bahasa nenek moyang ini, sellebihnya saya NOL besar. Saya biasanya mecari jalan aman dengan berkilah bahwa keluarga saya di rumah tidak berbahasa Bugis, melainkan bahasa Indonesia dan juga saya yang selama ini berpindah-pindah (bahasa lain dari keluyuran J) yang menjadikan saya akhirnya tidak menguasai satupun bahasa daerah dengan baik, hahaa anggap saja ini adalah usaha pembenaran ya gaes…
Saya belum bisa menerka-nerka hipotesis untuk fenomena ini, tapi sepertinya menggunakan bahasa daerah di rumah sebagai alat komunikasi antar keluarga inti penting, bukan karena tidak cinta bahasa Indonesia, tapi agar anak tidak kehilangan identitas etnisnya.
*efek tiga daengs dikelas PB ITB
Bandung, 22042015 

Rabu, 20 April 2016

selamat ulang tahun

hari ini berubah dan bertambah angka dibelakang usiamu yang kemarin
bahagiakah kau?
ku harap kau bahagia,
bertambah angkamu, tak menjanjikan apapun
selain janji berupa keniscayaan akan bertambahnya rintangan
rintangan yang akan memaksa kau berjalan lebih tangguh
melangkah lebih anggun
dan bertutur lebih manis
tapi, bukankah perjalanan yaang telah kau lewati telah mengajarkanmu banyak hal?
disanalah kuncinya.
selamat ulang tahun sayang
tetaplah menjadi kuat
karena bahkan semestapun mengiyakan kekuatanmu itu
tetaplah tersenyum, namun menangislah ketika hanya air mata pengobatmu
selamat menjalani hari-hari
memang tidak ada yang berubah, tapi ku berharap kedewasaanlah yang bertambah
akan banyak cerita di tahunmu ini
jika tidak, mari merangkai cerita itu
tak ada lilin yang ditiup malam ini
juga tidak kado tersampul manis
tapi ku berharap do'a-do'a yang kau terima sejak kemarn diaminkanNya
diaminkanNya dengan cara terbaik dan waktu terbaik
selamat bertambah usia sayang

Bandung, 20042016

Senin, 18 April 2016

apa yang sebenarnya dicari?

sebegitu sibukkah hari-hari kita untuk sebuah kepentingan?
sampai lupa kita sebenarnya apa yang jadi tujuan kita
alasan mengapa kita berada disisni, di tempat ini
sibuklah kita memilih warna bulu kucing 
kita pilih yang berwarna elok tapi tikus di loteng berkejaran
acuh kita pada kucing kampung yang baru saja mengebas bulu berdebunya 
acuh kita pada kucing itu
padahal ketika kita terlelaap malam kemarin
ia lah yang menghajar tikus di rumah kita sampai mampus 
lantas? 
mengaa sibuk kita dengan warna bulu?
bukankah berapa tikus yang berhasil diterkamnya adalah cukup untuk mengannggapnya ada?
hal ini berlaku untuk beberapa hal kawan
jenis pekerjaan, pilihan pasangan, dan label-label yang lainnya.
kau ingin tau?
betapa seringnya ku dengar tentang hati yang bahagia dikesampingkan demi label
orang-orang tak lagi menghiraukan hati yang bahagia
tapi berapa jumlah gajinya, seberapa tenar kampusnya, seberapa kaya orang taunya.
bukankah itu semua bulu?
terbiasa kita dengan hanya melihat bagian luar, terlampau pandai kita memberi nilai
pada hasil orang lain, bertingkah seoralh kitalah hakimnya
luput kita mendengar betapa bahagia seorang
luput kita memahami isi dan mengerti apa yang tak dapat dilihat
kebahagiaan, rasa nyaman, kepuasan, kebermaknaan, rasa ingin berbagi
dan isi-isi yang lainnya.
mungkin itulah yang selama ini terabaikan

mari belajar melihat yang tak terlihat
*oiyah istilah "tak penting warna bulu kucing tapi yang penting kemampuannya menangkap tikus" adalah oleh-oleh kunjungan dari rumah Mas Jaya& Mb Wawa beberapa waktu lalu:)

Bandung, 19 april 2019

Jumat, 15 April 2016

surat untuk kawan

lama..lama sekali kita tidak bertegur sapa,
bercerita tentang apa-apa yang hidup perlakukan pada masing-masing diri kita,
 berkisah seberapa luas hikmah
yang telah kita dapat saripatinya dari mencerna apa yang waktu suguhkan dimeja makan masing-masing dari kita.
 jauh sebelum waktu ini datang,
kita sering kali berandai andai untuk apa yang akan kita hadapi saat ini
sembari mempersiapan temeng dan saling mengokohkan satu sama lain dari kita,
meng"iya"kan setiap nasehat yang pernah terbaca,
men"tidak"kan cerita-cerita yang kita anggap hanya angin belaka-meskipun sebenarnya itu adalah nyata.
lama..lama sekali sebelum kita berada di waktu ini,
kita sering sekali merasa siap untuk segala kenyataan,
berkata "iya bisa",
atau sekedar bertingkah separuh ideal setengah menelan realita.
tapi sepertinya saat ini kita sedang ditantang oleh semua keberanian kita yang dulu,
untuk memperlihatkan sudah seberapa luas telaga yang kita persiapkan selama ini,
 diuji temeng kita untuk selalu berjalan anggun pada proses kita masing-masing.
meskipun saat ini masing-masing rapuh,
tapi setidaknya-seperti yang sering kau ikrarkan dahulu,
bahwa kita pernah punya prinsip.
kita pernah berfikir, pernah....pernah berbagi... *

 miss u bing ({})

10 oktober 2014
Gajah


Senin, 11 April 2016

(hanya) bersama (tak) bersatu

Beberapa waktu lalu, belum lama ini kita pernah berjanji akan berbagi setiap rasa yang kita miliki berdua. Menjadikan masinh-masing dari kita adalah tempat persinggahan setiap perasaan yang ada. Masih ingatkah kau? Pesan singkat yang kau kirimkan malam itu yang kemudia berhasil membuat malamku sangat damai. Kau bilang kau menyayangiku, menginginkanku, merasakan khawatir dari kedua sorot mataku yang berusaha ku sembunyikan. Kau katakana bahwa kau khawtir dengan dengan keadaanku karna kau tak ingin diriku merasakan hal2 menyesakkan. Malam itu ku balas pesanmu dengan bahagia yang membuncah, bahwa aku merasakan apa yang kau rasa, ku katakana padamu bahwa khawatir yang kau lihat di mataku itu adalah kekhawatiran tentang dirimu, khawatir akan kehilangan da jauh dari mu. Dapatkah kau bayangkan bagaimana nyenyaknya diriku ketika itu? Aku tak nyenyak sedikitpun, karena diriku terbangun dalam mimpi yang sangat indah.
Malam ini, ku baca kembali percakapan2 kita yang dahulu, mengapa begitu hangat? Mengapa begitu menjanjiakan kebersamaan? Apakah ini hanya hayalku? Katakana padaku bahwa semua ini hanya ilusiku semata, bersatu dan bersamma denganmu hanyalah ilusi yang ku bangun sendiri, ku rangkai sendiri, ku karang dan kubingungi sendiri. Tak inginkah kau bertanya mengapa? Karna asaku sebentar lagi terputus, sungguh. Merasa bahwa saat ini tak ada lagi alasan ku bertahan tapi entah kenapa, seperti yang kau tau atau mungkin kau tak pernah tahu. Bahwa disetiap hari dan malamku, setiap embun yang menguap ke atas sana dan kemudian kembali menetes di dipenghujung malam. Aku masih merindukanmu, sekali lagi ku katakan, ku tak tau ini memang rindu yang masih tersisa tempo hari atau mungkin ini lagi-lahi rindu yang ku rangkai sendiri untuk menemani sepiku disini.
Setiap harinya aku terus berusaha mmahami apa yang terjadi di antara kita, lambat launn aku menyadari bahwa mungkin selama ini kita bersama namun tak pernah bersatu. Keraguan, kesibukan, rasa bersalah berhasil menjadikan kita hanya sebatas bersama.
Rumah, 29 feb 2016

22.00

ORANG TINGGI DAN GADIS SATU MILYAR

ORANG TINGGI DAN GADIS SATU MILYAR
Beberapa waktu lalu dunia per-facebook-an sempat diramaikan dengan beberapa artikel menggelitik dari sebuah situs artikel online yang menuliskan sederet Gadis dari berbagai suku yang menduduki peringkat termahal, Gadis Bugis menduduki peringkat pertama dengan julukan Gadis satu milyar. saya tersenyum membaca artikel tersebut mengingat secara genetik saya adalah keturunan Bugis dan sebutan satu milyar tersebut bukanlah hal asing bagi saya yang lahir di lingkungan tau ugi[1] dan memang begitu adanya, yakni seorang Gadis akan dihargai dengan sangat tinggi dengan asumsi bahwa harga seorang Gadis ketika dilamar oleh calon mempelai laki-laki akan menunjukkan posisi si Gadis dalam tatanan sosial, dengan kata lain semakin tinggi harga-nya maka akan semakin tinggi posisi keluarga si Gadis dalam pandangan masyarakat.
Kemudian bagaimana menentukan harga? Dalam tradisi tau ugi, patokan harga yang diberikan disesuaikan dengan tingkat pendidikan, pekerjaan dan juga keturunan si Gadis. Bisa anda bayangkan bagaimana nasib para calon mempelai pria yang hendak menikahi seorang doktor pegawai dan keturunan Daeng? Maka siap-siap saja anda akan membuktikan sendiri mitos “Gadis satu miliyar” tersebut J.
Pada hakikatnya, pandangan tau ugi tentang tingginya harga yakni mengingat Gadis tersebut setelah menikah akan menjadi hak suami sepenuhnya, kewajibaan akan taat dan patuh serta menjaga nama baik keluarga adalah tanggung jawab yang harus dihargai dengan sebaik-baiknya, meskipun demikian harga yang tinggi tidak serta merta berarti si Gadis menjadi barang transaksional antara keluarga dan calon suaminya.
Dari sekian banyak desa disekitar tempat tinggal saya yang berpenghuni tau ugi, terdapat satu desa yang sangat ugi dalam kehdupan penduduknya, tau ugi masyhur dengan nenek moyang yang pelaut dan raja layar nusantara maka di desa tersebut laki-laki dewasanya tidak kita jumpai di rumah-rumah, mereka sedang berlayar mengarungi lautan nusantara bahkan dunia mengikuti aliran darah nenek moyang mereka. Selain itu tau ugi memandang tingkat kemapanan materi dan garis keturunan menjadi tolak ukur posisi dalam tatanan sosial, maka jika anda mampir ke desa yang saya maksud di atas, maka pemandangan ibu-ibu paruh baya dengan perhiasan emas nampak sangat mencolok dari pergelangan tangan, jari, daun telinga mereka dan pemandangan tersebut seragam dengan tau ugi dari tanah asal mereka. Sampai-sampai anda akan mengenal dengan mudah ibu-ibu dari desa tersebut di tengah kerumunan ibu-ibu desa lain. Lama  terpisah jauh dari tanah kelahiran mereka, tidak menjadi pembenaran darah yang mengalir berubah rasa, sekiranya begitu nyanyian yang mereka dengungkan di tanah rantau.
 Latar belakang mengapa saya tuliskan Gadis Bugis dan desa tau ugi di atas adalah hasil kunjungan saya ke desa tersebut tadi sore, tadi sore sebenarnya tidak ada yang special dari kunjungan-kunjungan saya sebelumnya. Namun satu hal yang berhasil menguasai pikiran saya adalah guyonan keluarga yang saya kunjungi yang berkata sangat renyah pada saya, katanya “nanti dini, cari ko calong suami yang tinggi, orang tinggi pangkatnya, tinggi sekolanya, biar sama-sama mo ko”, sebenarnya guyonan tersebut bukan kali pertama saya terima, sudah berkali-kali. Namun tadi dengan guyonan yang sama saya menjawab “iye, nanti saya cari orang yang tinggi (dengan makna sebenrnya), tinggi orangnya dan baik hatinya” saya menambahkan. Sontak semua orang tertawa dengan ekspresi saya yang menunjukkan badan yang tinggi. Sayapun ikut tertawa dan sore kamipun terasa hangat. Sekiranya mereka luput dengan dua kata terakhir saya “baik hatinya”. Dalam hati saya bergumam apalah guna mereka yang tinggi tapi kerdil. Bukankah hari ini mereka yang tinggilah yang kemudian mengkerdilkan diri dengan gaya yang tinggi?.
Meskipun tidak lahir di tana ugi, tak pernah meminum langsung air dari mata air dan menginakkan kaki dari tanah ugi, tapi darah ugi tetap mengalir dan membersamai prinsip hidup, harga diri yang tinggi adalah harga dari proses panjang dalam memaknai peran masing-masing dari kita di dalam masyarakat, peran apa yang saya maksud? Peran di setiap tahapan kehidupan kita. Peran sebagai anak, pelajar, orang tua, pekerja, bos, pemimpin, yang dipimpin diikat dengan kejujuran serta kesadaran penuh. Itulah yang membersamai perjalanan Gadis ugi.                                                                                                                                                                          
Rumah, 1 maret 2016                                                                                                                                                                                                                    



[1] Sebutan untuk orang Bugis

Tak (pernah) istimewa

Tak pernah istimewa?
Tak pernahkah aku istimewa di matamu? Atau hanya sekedar mengingatku sebelum tidur?
Atau mungkin sedetik saja dalam 1440 menitmu, tak pernahkah?
Mungkina ku tak istimewa bagimu, sejauh ini itu yang ku lihat
Tak pernah kau mencari ketika ku menghilangkan diri dari mu
Tak pernah kau bertanya kabarku
Tak inginkah kau sekedar memastikan bahwa aku baik-baik saja?
Katakana padaku tentang hal bodoh yang ku pikirkan ini
Mengapa setiap penghuujung malamku tulisan-tulisan ini seolah menarikku untuk ku tuliskan?
Terlampau dalamkah kau memasuki hidupku?
Mengapa?


Rumah, 3 maret 2016 

MELEPASKANMU

Bukankah kata mereka semalam jika mencintai adalah melepaskan?
Entah kau sepakat ataupun tidak, kemarin ku sempat nafikkan itu
Karna ku sadar ku tak akan mampu menanggung rindu ini sendiri
Ku tak akan mampu meninggalkan bayangmu hanya di dalam sajak semata
Sadar akan kelemahanku tentang menepis setiap utas senyum manismu
Itu dahuu sayang, ketika aku tak cukup berani berdiri disini sendiri
Tapi hari ini, akupun tak sekuat yang mereka sebut
Tapi taukah kau? Aku mencintaimu sepenuhnya
Seperti kata mereka akan cinta yang melepaskan
Karenanya, sepenuh hati ku ajarkan dirku akan itu
Akan melepaskanmu
Berjalanlah ke arah tujuanmu sayang. Ku tak akan memintamu untuk bertahan
Meskipun, sampai saat ini bayangmu selalu saja membersamaiku
Bayangmu menyambut pagi dan menghantarkan lelap malamku
Melepaskanmu tak berarti rinduku tak lagi bermuara padamu
Namun, setidaknya ketika kau pergi
Rinduku membersamai langkahmu
Aku melepaskanmu tak berarti ku tak takut kehilangan dirimu
Namun ku tau, cinta akan selalu tau jalan pulang 
Tak peduli sejauh apapun kau melangkah
Cintamu akan selalu menjadi radar tuk kembali
Entah padaku atau hati lain yang kau cintai.

Bandung, hujan, 11042016