Jumat, 22 April 2016

Gadis (Bugis) yang hilang

Sebenarnya menulis bagian ini menyedihkan bagi saya, mengapa? Karena menulis ini seperti membuka luka lama dan bertanda saya menatap kekalahan saya sendiri. Jadi begini, seringkali ketika kita berkenalan dengan orang baru di suatu tempat yang pertama kali ditanyakan adalah sudah barang tentu nama, contohnya: (sambil jabat tangan atau dengan ber “hai” kita menyebukan nama) dan sejurus kemudian lawan bicara kita melakukan hal yang sama. Pertanyaan kedua kadangkala berupa, tinggal dimana? Atau dari mana asalnya? Dan pertanyaan-pertanyaan umum lainnya. Sebenarnya sejauh ini saya tidak mengalami masalah serius dalam menjawab pertanyaan selama berkenalan, tapi ketika bertemu dengan orang bersuku Bugis atau dari belahan mana saja dari pulau berbentuk huruf “K” (read: Sulawesi) disini kadang saya merasa ada sedikit rasa aneh, karena pertanyaannya setelah asal adalah apakah lawan bicara saya bisa berbahasa Bugis atau tidak, beberapa dari mereka akan langsung spontan menjawab dengan kembali bertanya “bisa bahas bugis mb?, emang asli mana? Kok bisa bahasa bugis? Dan seterusnya, nah ini momen paling mencekik menurut saya, saya sejatinya keturunan Bugis, pasalnya nenek kakek saya berasal dari sana, tapi hari ini, 24 tahun 22 hari saya menempati bumi ini belum juga meginjakkan kaki sedikitipun di tanah Bugis. Saya pun sering lupa daerah mana pendahulu saya berasal, bone, pindrang, atau mungkin bagian yang lain.
Perihal daerah asal saya sudah sering sekali bertanya kepada Mamak, dan pasti diberitahukan tapi. Huuft..kemampuan saya mengingat tempat yang belum saya kunjungi sangat payah. Nah satu lagi yang mengusik adalah perasaan saya adalah tentang “gadis Bugis yang hilang” menjadi-jadi ketika diajak bahasa Bugis secara spontan, awwededeeeeh…kasii’na…. saya hanya pengguna pasif bahasa nenek moyang ini, sellebihnya saya NOL besar. Saya biasanya mecari jalan aman dengan berkilah bahwa keluarga saya di rumah tidak berbahasa Bugis, melainkan bahasa Indonesia dan juga saya yang selama ini berpindah-pindah (bahasa lain dari keluyuran J) yang menjadikan saya akhirnya tidak menguasai satupun bahasa daerah dengan baik, hahaa anggap saja ini adalah usaha pembenaran ya gaes…
Saya belum bisa menerka-nerka hipotesis untuk fenomena ini, tapi sepertinya menggunakan bahasa daerah di rumah sebagai alat komunikasi antar keluarga inti penting, bukan karena tidak cinta bahasa Indonesia, tapi agar anak tidak kehilangan identitas etnisnya.
*efek tiga daengs dikelas PB ITB
Bandung, 22042015 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar