Sebenarnya
menulis bagian ini menyedihkan bagi saya, mengapa? Karena menulis ini seperti
membuka luka lama dan bertanda saya menatap kekalahan saya sendiri. Jadi begini,
seringkali ketika kita berkenalan dengan orang baru di suatu tempat yang
pertama kali ditanyakan adalah sudah barang tentu nama, contohnya: (sambil
jabat tangan atau dengan ber “hai” kita menyebukan nama) dan sejurus kemudian
lawan bicara kita melakukan hal yang sama. Pertanyaan kedua kadangkala berupa,
tinggal dimana? Atau dari mana asalnya? Dan pertanyaan-pertanyaan umum lainnya.
Sebenarnya sejauh ini saya tidak mengalami masalah serius dalam menjawab
pertanyaan selama berkenalan, tapi ketika bertemu dengan orang bersuku Bugis atau
dari belahan mana saja dari pulau berbentuk huruf “K” (read: Sulawesi) disini
kadang saya merasa ada sedikit rasa aneh, karena pertanyaannya setelah asal
adalah apakah lawan bicara saya bisa berbahasa Bugis atau tidak, beberapa dari
mereka akan langsung spontan menjawab dengan kembali bertanya “bisa bahas bugis
mb?, emang asli mana? Kok bisa bahasa bugis? Dan seterusnya, nah ini momen
paling mencekik menurut saya, saya sejatinya keturunan Bugis, pasalnya nenek
kakek saya berasal dari sana, tapi hari ini, 24 tahun 22 hari saya menempati
bumi ini belum juga meginjakkan kaki sedikitipun di tanah Bugis. Saya pun
sering lupa daerah mana pendahulu saya berasal, bone, pindrang, atau mungkin
bagian yang lain.
Perihal
daerah asal saya sudah sering sekali bertanya kepada Mamak, dan pasti
diberitahukan tapi. Huuft..kemampuan saya mengingat tempat yang belum
saya kunjungi sangat payah. Nah satu lagi yang mengusik adalah perasaan saya
adalah tentang “gadis Bugis yang hilang” menjadi-jadi ketika diajak bahasa
Bugis secara spontan, awwededeeeeh…kasii’na…. saya hanya pengguna pasif
bahasa nenek moyang ini, sellebihnya saya NOL besar. Saya biasanya mecari jalan
aman dengan berkilah bahwa keluarga saya di rumah tidak berbahasa Bugis,
melainkan bahasa Indonesia dan juga saya yang selama ini berpindah-pindah
(bahasa lain dari keluyuran J) yang
menjadikan saya akhirnya tidak menguasai satupun bahasa daerah dengan baik,
hahaa anggap saja ini adalah usaha pembenaran ya gaes…
Saya belum
bisa menerka-nerka hipotesis untuk fenomena ini, tapi sepertinya menggunakan
bahasa daerah di rumah sebagai alat komunikasi antar keluarga inti penting,
bukan karena tidak cinta bahasa Indonesia, tapi agar anak tidak kehilangan
identitas etnisnya.
*efek
tiga daengs dikelas PB ITB
Bandung,
22042015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar