ORANG TINGGI DAN GADIS SATU MILYAR
Beberapa
waktu lalu dunia per-facebook-an sempat diramaikan dengan beberapa
artikel menggelitik dari sebuah situs artikel online yang menuliskan sederet Gadis
dari berbagai suku yang menduduki peringkat termahal, Gadis Bugis menduduki
peringkat pertama dengan julukan Gadis satu milyar. saya tersenyum membaca
artikel tersebut mengingat secara genetik saya adalah keturunan Bugis dan sebutan
satu milyar tersebut bukanlah hal asing bagi saya yang lahir di lingkungan tau
ugi[1]
dan memang begitu adanya, yakni seorang Gadis akan dihargai dengan
sangat tinggi dengan asumsi bahwa harga seorang Gadis ketika dilamar
oleh calon mempelai laki-laki akan menunjukkan posisi si Gadis dalam tatanan
sosial, dengan kata lain semakin tinggi harga-nya maka akan semakin tinggi
posisi keluarga si Gadis dalam pandangan masyarakat.
Kemudian
bagaimana menentukan harga? Dalam tradisi tau ugi, patokan harga yang
diberikan disesuaikan dengan tingkat pendidikan, pekerjaan dan juga keturunan
si Gadis. Bisa anda bayangkan bagaimana nasib para calon mempelai pria yang
hendak menikahi seorang doktor pegawai dan keturunan Daeng? Maka siap-siap saja
anda akan membuktikan sendiri mitos “Gadis satu miliyar” tersebut J.
Pada hakikatnya,
pandangan tau ugi tentang tingginya harga yakni mengingat Gadis tersebut
setelah menikah akan menjadi hak suami sepenuhnya, kewajibaan akan taat dan
patuh serta menjaga nama baik keluarga adalah tanggung jawab yang harus dihargai
dengan sebaik-baiknya, meskipun demikian harga yang tinggi tidak serta merta
berarti si Gadis menjadi barang transaksional antara keluarga dan calon
suaminya.
Dari
sekian banyak desa disekitar tempat tinggal saya yang berpenghuni tau ugi,
terdapat satu desa yang sangat ugi dalam kehdupan penduduknya, tau
ugi masyhur dengan nenek moyang yang pelaut dan raja layar nusantara maka
di desa tersebut laki-laki dewasanya tidak kita jumpai di rumah-rumah, mereka
sedang berlayar mengarungi lautan nusantara bahkan dunia mengikuti aliran darah
nenek moyang mereka. Selain itu tau ugi memandang tingkat kemapanan
materi dan garis keturunan menjadi tolak ukur posisi dalam tatanan sosial, maka
jika anda mampir ke desa yang saya maksud di atas, maka pemandangan ibu-ibu paruh
baya dengan perhiasan emas nampak sangat mencolok dari pergelangan tangan,
jari, daun telinga mereka dan pemandangan tersebut seragam dengan tau ugi dari
tanah asal mereka. Sampai-sampai anda akan mengenal dengan mudah ibu-ibu dari
desa tersebut di tengah kerumunan ibu-ibu desa lain. Lama terpisah jauh dari tanah kelahiran mereka,
tidak menjadi pembenaran darah yang mengalir berubah rasa, sekiranya begitu
nyanyian yang mereka dengungkan di tanah rantau.
Latar belakang mengapa saya tuliskan Gadis Bugis
dan desa tau ugi di atas adalah hasil kunjungan saya ke desa tersebut
tadi sore, tadi sore sebenarnya tidak ada yang special dari kunjungan-kunjungan
saya sebelumnya. Namun satu hal yang berhasil menguasai pikiran saya adalah
guyonan keluarga yang saya kunjungi yang berkata sangat renyah pada saya,
katanya “nanti dini, cari ko calong suami yang tinggi, orang tinggi pangkatnya,
tinggi sekolanya, biar sama-sama mo ko”, sebenarnya guyonan tersebut bukan kali
pertama saya terima, sudah berkali-kali. Namun tadi dengan guyonan yang sama
saya menjawab “iye, nanti saya cari orang yang tinggi (dengan makna sebenrnya),
tinggi orangnya dan baik hatinya” saya menambahkan. Sontak semua orang tertawa
dengan ekspresi saya yang menunjukkan badan yang tinggi. Sayapun ikut tertawa
dan sore kamipun terasa hangat. Sekiranya mereka luput dengan dua kata terakhir
saya “baik hatinya”. Dalam hati saya bergumam apalah guna mereka yang tinggi
tapi kerdil. Bukankah hari ini mereka yang tinggilah yang kemudian
mengkerdilkan diri dengan gaya yang tinggi?.
Meskipun
tidak lahir di tana ugi, tak pernah meminum langsung air dari mata air
dan menginakkan kaki dari tanah ugi, tapi darah ugi tetap mengalir dan
membersamai prinsip hidup, harga diri yang tinggi adalah harga dari proses
panjang dalam memaknai peran masing-masing dari kita di dalam masyarakat, peran
apa yang saya maksud? Peran di setiap tahapan kehidupan kita. Peran sebagai
anak, pelajar, orang tua, pekerja, bos, pemimpin, yang dipimpin diikat dengan
kejujuran serta kesadaran penuh. Itulah yang membersamai perjalanan Gadis ugi.
Rumah, 1
maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar