Senin, 11 April 2016

ORANG TINGGI DAN GADIS SATU MILYAR

ORANG TINGGI DAN GADIS SATU MILYAR
Beberapa waktu lalu dunia per-facebook-an sempat diramaikan dengan beberapa artikel menggelitik dari sebuah situs artikel online yang menuliskan sederet Gadis dari berbagai suku yang menduduki peringkat termahal, Gadis Bugis menduduki peringkat pertama dengan julukan Gadis satu milyar. saya tersenyum membaca artikel tersebut mengingat secara genetik saya adalah keturunan Bugis dan sebutan satu milyar tersebut bukanlah hal asing bagi saya yang lahir di lingkungan tau ugi[1] dan memang begitu adanya, yakni seorang Gadis akan dihargai dengan sangat tinggi dengan asumsi bahwa harga seorang Gadis ketika dilamar oleh calon mempelai laki-laki akan menunjukkan posisi si Gadis dalam tatanan sosial, dengan kata lain semakin tinggi harga-nya maka akan semakin tinggi posisi keluarga si Gadis dalam pandangan masyarakat.
Kemudian bagaimana menentukan harga? Dalam tradisi tau ugi, patokan harga yang diberikan disesuaikan dengan tingkat pendidikan, pekerjaan dan juga keturunan si Gadis. Bisa anda bayangkan bagaimana nasib para calon mempelai pria yang hendak menikahi seorang doktor pegawai dan keturunan Daeng? Maka siap-siap saja anda akan membuktikan sendiri mitos “Gadis satu miliyar” tersebut J.
Pada hakikatnya, pandangan tau ugi tentang tingginya harga yakni mengingat Gadis tersebut setelah menikah akan menjadi hak suami sepenuhnya, kewajibaan akan taat dan patuh serta menjaga nama baik keluarga adalah tanggung jawab yang harus dihargai dengan sebaik-baiknya, meskipun demikian harga yang tinggi tidak serta merta berarti si Gadis menjadi barang transaksional antara keluarga dan calon suaminya.
Dari sekian banyak desa disekitar tempat tinggal saya yang berpenghuni tau ugi, terdapat satu desa yang sangat ugi dalam kehdupan penduduknya, tau ugi masyhur dengan nenek moyang yang pelaut dan raja layar nusantara maka di desa tersebut laki-laki dewasanya tidak kita jumpai di rumah-rumah, mereka sedang berlayar mengarungi lautan nusantara bahkan dunia mengikuti aliran darah nenek moyang mereka. Selain itu tau ugi memandang tingkat kemapanan materi dan garis keturunan menjadi tolak ukur posisi dalam tatanan sosial, maka jika anda mampir ke desa yang saya maksud di atas, maka pemandangan ibu-ibu paruh baya dengan perhiasan emas nampak sangat mencolok dari pergelangan tangan, jari, daun telinga mereka dan pemandangan tersebut seragam dengan tau ugi dari tanah asal mereka. Sampai-sampai anda akan mengenal dengan mudah ibu-ibu dari desa tersebut di tengah kerumunan ibu-ibu desa lain. Lama  terpisah jauh dari tanah kelahiran mereka, tidak menjadi pembenaran darah yang mengalir berubah rasa, sekiranya begitu nyanyian yang mereka dengungkan di tanah rantau.
 Latar belakang mengapa saya tuliskan Gadis Bugis dan desa tau ugi di atas adalah hasil kunjungan saya ke desa tersebut tadi sore, tadi sore sebenarnya tidak ada yang special dari kunjungan-kunjungan saya sebelumnya. Namun satu hal yang berhasil menguasai pikiran saya adalah guyonan keluarga yang saya kunjungi yang berkata sangat renyah pada saya, katanya “nanti dini, cari ko calong suami yang tinggi, orang tinggi pangkatnya, tinggi sekolanya, biar sama-sama mo ko”, sebenarnya guyonan tersebut bukan kali pertama saya terima, sudah berkali-kali. Namun tadi dengan guyonan yang sama saya menjawab “iye, nanti saya cari orang yang tinggi (dengan makna sebenrnya), tinggi orangnya dan baik hatinya” saya menambahkan. Sontak semua orang tertawa dengan ekspresi saya yang menunjukkan badan yang tinggi. Sayapun ikut tertawa dan sore kamipun terasa hangat. Sekiranya mereka luput dengan dua kata terakhir saya “baik hatinya”. Dalam hati saya bergumam apalah guna mereka yang tinggi tapi kerdil. Bukankah hari ini mereka yang tinggilah yang kemudian mengkerdilkan diri dengan gaya yang tinggi?.
Meskipun tidak lahir di tana ugi, tak pernah meminum langsung air dari mata air dan menginakkan kaki dari tanah ugi, tapi darah ugi tetap mengalir dan membersamai prinsip hidup, harga diri yang tinggi adalah harga dari proses panjang dalam memaknai peran masing-masing dari kita di dalam masyarakat, peran apa yang saya maksud? Peran di setiap tahapan kehidupan kita. Peran sebagai anak, pelajar, orang tua, pekerja, bos, pemimpin, yang dipimpin diikat dengan kejujuran serta kesadaran penuh. Itulah yang membersamai perjalanan Gadis ugi.                                                                                                                                                                          
Rumah, 1 maret 2016                                                                                                                                                                                                                    



[1] Sebutan untuk orang Bugis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar